Massifikasi Ideologi Keaswwajaan
“NU akan habis tahun 2020 mendatang”, Lontar KH Abdurrahman Navis, Lc., MHI (Direktur Aswaja NU Center Jatim) saat memberikan pengarahan pada peserta training of trainer Aswaja NU Center Jawa Timur tanggal 7 Oktober 2011 di Aula Salsabila PWNU Jawa Timur.
Sungguh pernyataan tersebut selalu terngiang dan selalu menjadi angan-angan yang tak hilang. Mengapa Hadratil Kiram KH Abdurrahman Navis selaku Direktur Aswaja NU Center Jatim melontarkan pernyataan yang demikian mengejutkan, bukankah NU sekarang sudah besar secara organisasi? Lihat saja jam’iyyahnya mulai dari kaum qori’ sampai pada kaum korak, bahkan bagi orang Madura yang begitu fanatiknya dengan NU ketika ditanya perihal agamanya, jawab mereka NU.
Memang secara de facto, NU merupakan organisasi yang besar dan memiliki jam’iyyah terbanyak di Indonesia, namun di dalam tubuh NU sekarang sudah tergerogoti dan NU sedang diserang dari kiri dan kanan. Dari kiri misalnya NU sedang digerogoti oleh ideologi liberal yang berusaha untuk me-desakralisasi teks agama (Qur’an dan Hadits). Berbagai pemikiran nyeleneh juga diusung oleh kelompok ini sehingga memberikan kesan ra’yu diatas dari nash. Meskipun demikian kelompok kiri (liberal) ini disambut hangat oleh kaum muda NU terutama mahasiswa. Mereka menganggap kelompok kiri ini memberikan pembaharuan dalam metodologi kajian keislaman. Bagi mereka yang jebolan dari pesantren salaf belakangan juga menyambut hangat, mereka menganggap kelompok ini membawa pembaharuan dalam istinbat hukum. Dari garis kanan NU diserang oleh ideologi fundamental-radikalis mereka sukses menyerang NU dikarenakan yang mereka serang adalah kaum NU yang awam terhadap NU sendiri. Perlahan mereka mendekati sasaran (kaum NU yang awam) kemudian mereka meyakinkan bahwa ajaran-ajaran dan tradisi yang dibawa oleh NU adalah ajaran-ajaran yang tidak diajarkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Sebenarnya serangan dari kiri (liberalis) dampaknya tidak begitu mudharat bagi warga NU, dikarena apabila ada warga NU yang terkena serangan itu mereka tinggal berkonsultasi pada Kiai sepuh demikian masalah akan bisa teratasi. Sedangkan kalau serangan dari kanan (fundamental-radikalis) sangat beresiko bagi warga NU, karena ideologi “kanan” yang mereka usung berasal dari geneologi ideologi Wahabi yang suka mentakfirkan, bahkan menukil pendapat dari Ust. Idrus Ramli Wahabi menghalalkan darah orang yang bukan pengikutnya dangan kata lain Wahabi merupakan representasi dari kelompok Neo-Khawarij.
Yang menjadi gerakan Kaum Kanan saat ini untuk menggerogoti NU adalah pentakfiran terhadap Tradisi amaliah-amaliah Nahdliyah seperti Tahlilan, Ratibul Haddad, Shalawat Nariyah, Istighotsah. Menukil pendapat dari H. Mahrus Ali (Wahabiyin) mengatakan bahwa Tahlil, Shalawat Nariyah, Istighotsah adalah Syirik sehingga dia berani mengeluarkan buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik. Prof Ahmad Zahro Guru Besar IAIN Sunan Ampel yang pernah mengundang H. Mahrus Ali namun pada akhirnya dia tidak datang karena berbagai alasan mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti ini seharusnya tidak perlu diangkat lagi karena sesungguhnya permasalahan seperti ini sudah terselesaikan di abad pertengahan dulu, dan ulama mayoritas menyepakati tidak ada hal yang berbau syirik. Dari hal demikian karena kategori ini termasuk tawassul yang merupakan amalan para sahabat masa Nabi Muhammad. Memang sebenarnya bagi cendikiawan sekelas Beliau masalah ini bisa dikonter dengan mudah, yang menjadi permasalahan bagaimana kaum awam bila menghadapi hal yang demikian? Tentu saja mereka orang-orang NU yang awam setidaknya tergoyahkan aqidahnya atau bahkan ikut menganggap amaliah yang mereka kerjakan adalah Syirik.
Tidak cukup demikian, kelompok kanan juga menggerogoti kader-kader muda NU terutama yang sedang menimba ilmu di Universitas-universitas Umum. Sebut saja dengan tegas Kelompok ini adalah HTI atau kalau di Kampus mereka beralih nama menjadi Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan. Kelompok yang menggembor-gemborkan Khilafah selalu mencari simpatisan dari warga NU karena “kampanye” yang mereka usung adalah penerapan syariah. Memang misi tersebut mulia namun sarat akan makna politik. Ini yang jarang diketahui, karena misi politis mereka tertutupi oleh Penerapan Syariah. Beberapa cara yang sering digunakan untuk menarik simpatisan dari warga NU adalah mereka sering “mencatut” tokoh-tokoh NU seperti KH Abdul Wahid Hasyim. Mereka mengatakan KH Wahid Hasyim merupakan Ulama NU yang setuju dengan Khilafah. Buktinya Beliau adalah orang yang sangat memperjuangkan Ideologi Negara Indonesia berbentuk Teokrasi, Beliau merupakan penggagas Piagam Jakarta yang didalamnya termuat kata-kata Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bila statement ini terlontar langsung pada Anda, lalu apa yang akan Anda jawab? Mungkin bagi mereka yang ke-NU-annya masih dhoif akan ikut pada kelompok HTI.
Sekilas memang benar pernyataan yang sampaikan oleh KH. Abdurrahman Navis. Selaku kader muda Nahdliyin kita tidak bisa tinggal diam gerakan masifisasi Ideologi keaswajaan sangat perlu dilakukan. Jangan hanya gerakan demonstrasi menentang radikalisasi, karena bagaimanapun bila kita melawan radikalisasi dengan demonstrasi mereka berusaha sepenuhnya untuk menggerogoti orang-orang kita.
*Aktivis IPNU Surabaya dan Jatim, Pengurus Aswaja NU Center Jawa Timur PWNU Jatim.
untuk Arsip AnToHUDSoLo Menyadur Dari http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/34374/Kolom/Massifikasi_Ideologi_Keaswwajaan.html
Sungguh pernyataan tersebut selalu terngiang dan selalu menjadi angan-angan yang tak hilang. Mengapa Hadratil Kiram KH Abdurrahman Navis selaku Direktur Aswaja NU Center Jatim melontarkan pernyataan yang demikian mengejutkan, bukankah NU sekarang sudah besar secara organisasi? Lihat saja jam’iyyahnya mulai dari kaum qori’ sampai pada kaum korak, bahkan bagi orang Madura yang begitu fanatiknya dengan NU ketika ditanya perihal agamanya, jawab mereka NU.
Memang secara de facto, NU merupakan organisasi yang besar dan memiliki jam’iyyah terbanyak di Indonesia, namun di dalam tubuh NU sekarang sudah tergerogoti dan NU sedang diserang dari kiri dan kanan. Dari kiri misalnya NU sedang digerogoti oleh ideologi liberal yang berusaha untuk me-desakralisasi teks agama (Qur’an dan Hadits). Berbagai pemikiran nyeleneh juga diusung oleh kelompok ini sehingga memberikan kesan ra’yu diatas dari nash. Meskipun demikian kelompok kiri (liberal) ini disambut hangat oleh kaum muda NU terutama mahasiswa. Mereka menganggap kelompok kiri ini memberikan pembaharuan dalam metodologi kajian keislaman. Bagi mereka yang jebolan dari pesantren salaf belakangan juga menyambut hangat, mereka menganggap kelompok ini membawa pembaharuan dalam istinbat hukum. Dari garis kanan NU diserang oleh ideologi fundamental-radikalis mereka sukses menyerang NU dikarenakan yang mereka serang adalah kaum NU yang awam terhadap NU sendiri. Perlahan mereka mendekati sasaran (kaum NU yang awam) kemudian mereka meyakinkan bahwa ajaran-ajaran dan tradisi yang dibawa oleh NU adalah ajaran-ajaran yang tidak diajarkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Sebenarnya serangan dari kiri (liberalis) dampaknya tidak begitu mudharat bagi warga NU, dikarena apabila ada warga NU yang terkena serangan itu mereka tinggal berkonsultasi pada Kiai sepuh demikian masalah akan bisa teratasi. Sedangkan kalau serangan dari kanan (fundamental-radikalis) sangat beresiko bagi warga NU, karena ideologi “kanan” yang mereka usung berasal dari geneologi ideologi Wahabi yang suka mentakfirkan, bahkan menukil pendapat dari Ust. Idrus Ramli Wahabi menghalalkan darah orang yang bukan pengikutnya dangan kata lain Wahabi merupakan representasi dari kelompok Neo-Khawarij.
Yang menjadi gerakan Kaum Kanan saat ini untuk menggerogoti NU adalah pentakfiran terhadap Tradisi amaliah-amaliah Nahdliyah seperti Tahlilan, Ratibul Haddad, Shalawat Nariyah, Istighotsah. Menukil pendapat dari H. Mahrus Ali (Wahabiyin) mengatakan bahwa Tahlil, Shalawat Nariyah, Istighotsah adalah Syirik sehingga dia berani mengeluarkan buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik. Prof Ahmad Zahro Guru Besar IAIN Sunan Ampel yang pernah mengundang H. Mahrus Ali namun pada akhirnya dia tidak datang karena berbagai alasan mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti ini seharusnya tidak perlu diangkat lagi karena sesungguhnya permasalahan seperti ini sudah terselesaikan di abad pertengahan dulu, dan ulama mayoritas menyepakati tidak ada hal yang berbau syirik. Dari hal demikian karena kategori ini termasuk tawassul yang merupakan amalan para sahabat masa Nabi Muhammad. Memang sebenarnya bagi cendikiawan sekelas Beliau masalah ini bisa dikonter dengan mudah, yang menjadi permasalahan bagaimana kaum awam bila menghadapi hal yang demikian? Tentu saja mereka orang-orang NU yang awam setidaknya tergoyahkan aqidahnya atau bahkan ikut menganggap amaliah yang mereka kerjakan adalah Syirik.
Tidak cukup demikian, kelompok kanan juga menggerogoti kader-kader muda NU terutama yang sedang menimba ilmu di Universitas-universitas Umum. Sebut saja dengan tegas Kelompok ini adalah HTI atau kalau di Kampus mereka beralih nama menjadi Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan. Kelompok yang menggembor-gemborkan Khilafah selalu mencari simpatisan dari warga NU karena “kampanye” yang mereka usung adalah penerapan syariah. Memang misi tersebut mulia namun sarat akan makna politik. Ini yang jarang diketahui, karena misi politis mereka tertutupi oleh Penerapan Syariah. Beberapa cara yang sering digunakan untuk menarik simpatisan dari warga NU adalah mereka sering “mencatut” tokoh-tokoh NU seperti KH Abdul Wahid Hasyim. Mereka mengatakan KH Wahid Hasyim merupakan Ulama NU yang setuju dengan Khilafah. Buktinya Beliau adalah orang yang sangat memperjuangkan Ideologi Negara Indonesia berbentuk Teokrasi, Beliau merupakan penggagas Piagam Jakarta yang didalamnya termuat kata-kata Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bila statement ini terlontar langsung pada Anda, lalu apa yang akan Anda jawab? Mungkin bagi mereka yang ke-NU-annya masih dhoif akan ikut pada kelompok HTI.
Sekilas memang benar pernyataan yang sampaikan oleh KH. Abdurrahman Navis. Selaku kader muda Nahdliyin kita tidak bisa tinggal diam gerakan masifisasi Ideologi keaswajaan sangat perlu dilakukan. Jangan hanya gerakan demonstrasi menentang radikalisasi, karena bagaimanapun bila kita melawan radikalisasi dengan demonstrasi mereka berusaha sepenuhnya untuk menggerogoti orang-orang kita.
*Aktivis IPNU Surabaya dan Jatim, Pengurus Aswaja NU Center Jawa Timur PWNU Jatim.