TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK

TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK
                  Anto HUd Mengutip dari Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
Pertanyaan:
 
    Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apa
    pula keistimewaanya?
 
    Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimana
    dalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
 
Jawab:
 
Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk
diulang  kembali,  sebab  masalah  ini  amat  penting  untuk
menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara
orang-orang  yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara
menyeluruh.
 
Dengan penjelasan  yang  lebih  luas  ini,  sekiranya  dapat
membuka  tabir  yang  menyelimuti  bagian  yang  cerah  ini,
sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu,
misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
 
Di   zaman  para  sahabat  Nabi  saw,  kaum  Muslimin  serta
pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum
Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
 
Tiada   satu   bagian   pun   yang   tidak   dipelajari  dan
dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan  dunia  maupun
akhirat;   masalah  pribadi  maupun  kemasyarakatan,  bahkan
masalah  yang  ada  hubungannya  dengan   penggunaan   akal,
perkembangan  jiwa  dan  jasmani,  mendapat  perhatian pula.
Timbulnya perubahan dan  adanya  kesulitan  dalam  kehidupan
baru   yang   dihadapinya   adalah   akibat   pengaruh  yang
ditimbulkan  dari  dalam   dan   luar.   Dan   juga   adanya
bangsa-bangsa   yang   berbeda  paham  dan  alirannya  dalam
masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
 
Dalam  hal  ini,  terdapat  orang-orang  yang   perhatiannya
dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada
yang perhatiannya dibatasi pada  bagian  lahirnya  (luarnya)
atau   hukum-hukumnya  saja,  yaitu  ahli  fiqih.  Ada  pula
orang-orang yang perhatiannya  pada  materi  dan  foya-foya,
misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
 
Maka,  pada  saat  itu,  timbullah  orang-orang  sufi  yang
perhatiannya terbatas pada  bagian  ubudiah  saja,  terutama
pada   bagian   peningkatan   dan   penghayatan  jiwa  untuk
mendapatkan   keridhaan   Allah   dan    keselamatan    dari
kemurkaan-Nya.   Demi   tercapainya  tujuan  tersebut,  maka
diharuskan zuhud atau hidup sederhana  dan  mengurangi  hawa
nafsu.  Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada
Allah.
 
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta  kepada
Allah  (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah,
Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah
tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
 
    "Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut
    pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan
    kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah
    dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat
    dengan-Nya."
 
Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
 
    "Semua orang yang menyembah Allah karena takut
    akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku
    tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku
    cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya."
 
Kemudian  pandangan  mereka  itu  berubah,  dari  pendidikan
akhlak  dan  latihan  jiwa, berubah menjadi paham-paham baru
atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang  paling
menonjol  ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham
bersatunya hamba dengan Allah).
 
Paham ini juga yang dianut  oleh  Al-Hallaj,  seorang  tokoh
sufi,  sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata,
"Saya adalah Tuhan."
 
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di  dalam  makhluk-Nya,
sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
 
Banyak  di  kalangan  para  sufi  sendiri yang menolak paham
Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang  menyebabkan  kemarahan
para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
 
Filsafat  ini  sangat  berbahaya, karena dapat menghilangkan
rasa tanggung jawab  dan  beranggapan  bahwa  semua  manusia
sama,  baik  yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid
maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli
(kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
 
Dalam  keadaan  yang  demikian,  tentu  timbul  asumsi  yang
bermacam-macam, ada yang menilai  masalah  tasawuf  tersebut
secara  amat  fanatik  dengan  memuji  mereka dan menganggap
semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula  yang  mencelanya,
menganggap  semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan
aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi,  agama  Budha,
dan lain-lainnya.
 
Secara  obyektif  bahwa  tasawuf itu dapat dikatakan sebagai
berikut:
 
    "Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang
    mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan,
    dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah
    Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai
    sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi
    hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana
    sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda',
    Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya."
 
Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari
godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
 
Tetapi  hendaknya  selalu  bergerak  menuju  ke  jalan  yang
diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon  ampunan
Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
 
Dalam  Al-Qur,an  dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan
mengenai  cinta  Allah  kepada  hamba-hamba-Nya  dan   cinta
hambaNya  kepada  Allah.  Sebagaimana  disebutkan dalam ayat
Al-Qur,an:
 
    "Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat
    besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).
 
    "... Allah mencintai mereka dan mereka pun
    mencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54).
 
    "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
    berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur
    (tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).
 
Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai  masalah
zuhud,   tawakal,   tobat,   syukur,  sabar,  yakin,  takwa,
muraqabah (mawas diri), dan  lain-lainnya  dari  maqam-maqam
yang suci dalam agama.
 
Tidak  ada  golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam
menafsirkan,  membahas  dengan  teliti  dan  terinci,  serta
membagi  segi-segi  utamanya  maqam  ini  selain  para sufi.
Merekalah yang paling mahir  dan  mengetahui  akan  penyakit
jiwa,  sifat-sifatnya  dan kekurangan yang ada pada manusia,
mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
 
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga  di  sini  saja  dalam
peranannya  di  masa  permulaan,  yaitu adanya kemauan dalam
melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat  yang
murni  semata  untuk  Allah  swt. Sebagaimana dikatakan oleh
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi,  yaitu:  "Ilmu  tasawuf  itu,
kemudian  akan  meningkat  ke  bidang  makrifat  perkenalan,
setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia  Allah.  Hal
ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
 
Akhirnya,  dengan  ditingkatkannya  hal-hal  ini,  timbullah
penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
 
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang
sufi adalah sebagai berikut:
 
1.  Dijadikannya  wijid  (perasaan) dan ilham sebagai ukuran
untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat  dijadikan
ukuran   untuk  membedakan  antara  yang  benar  dan  salah.
Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku  diberi  tahu  oleh
hati dari Tuhanku (Allah)."
 
Berbeda  dengan  ungkapan  dari  ahli  sunnah  bahwa apabila
mereka meriwayatkan ini  dari  si  Fulan,  si  Fulan  sampai
kepada Rasulullah saw.
 
2.  Dibedakannya  antara  syariat  dan hakikat, antara hukum
Islam dan yang bebas dari hukumnya.
 
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat
mempengaruhi  iman  dan akidah mereka, dimana manusia mutlak
dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi  melawan  dan  selalu
bersikap pasif, tidak aktif.
 
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di
dunia  dianggapnya  sepele,  padahal  ayat  Al-Qur,an  telah
menyatakan:
 
    "... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu
    (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..."
    (Q.s. Al-Qashash: 77).
 
Pikiran dan teori di atas telah  tersebar  dan  dipraktekkan
dimana-mana,  dengan  dasar  dan  paham bahwa hal ini bagian
dari  Islam,  ditetapkan  oleh  Islam,  dan  ada   sebagian,
terutama  dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti
benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
 
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu,  selalu
menyuruh  jangan  sampai  menyimpang  dari garis syariat dan
hukum-hukumnya.
 
Ibnul Qayyim berkata mengenai  keterangan  dari  tokoh-tokoh
sufi, "Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin
Muhammad (297  H.),  berkata,  'Semua  jalan  tertutup  bagi
manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"
 
Al-Junaid pun berkata:
 
    "Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan
    menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh
    dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita
    (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan
    As-Sunnah."
 
Abu Khafs berkata:
 
    "Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala
    sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah,
    serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan
    wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk
    golongan kaum tasawuf."
 
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
 
    "Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan
    kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang
    harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan
    seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."
 
Kiranya keterangan yang paling tepat  mengenai  tasawuf  dan
para  sufi  adalah  sebagaimana  yang diuraikan oleh Al-Imam
Ibnu Taimiyah dalam  menjawab  atas  pertanyaan,  "Bagaimana
pandangan ahli agama mengenai tasawuf?"
 
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
 
    "Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua,
    yaitu:
 
    Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam
    mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah
    dan di luar Sunnah Nabi saw.
 
    Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam
    memberikan pujian dan menganggap mereka paling
    baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi
    saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah
    bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan
    pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha
    orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam
    kondisi yang prima di antara mereka, ada yang
    cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang
    ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang
    terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya;
    ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang
    saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min
    ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara
    kedua sikap tadi)."
 
Di antara golongan itu ada yang  salah,  ada  yang  berdosa,
melakukan  tobat,  ada  pula yang tetap tidak bertobat. Yang
lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman
dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
 
Masih  banyak  lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang
menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan  tidak
diakui  oleh  tokoh-tokoh  sufi  yang  benar  dan  terkenal.
Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
 
Wallaahu A'lam.