Robi'ah Al Adawiyyah
Kelahiran Rabiah Al Adawiyah
Pada malam Rabi'ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi'ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi'ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi'ah.
"Pergilah kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu" isterinya berkata kepadanya.
Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali lagi ke rumahnya.
"Mereka tidak mau membukakan pintu" ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.
Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi.
Nabi membujuknya: "Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku". Kemudian Nabi meneruskan; "Besok, pergilah engkau menghadap 'Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: 'Setiap malam engkau mengirirnkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jum'at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum'at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal'".
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi'ah mengucurkan air mata. la pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.
"Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin", gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, "sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: 'Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku' ".
Ayah Rabi'ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu.
CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya.
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu sering kali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada disamping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan. siapa-siapa . “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tldak punya apa-apa Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dlrinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismall diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.
Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu ger- bang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapl, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isa, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kau lakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”
Sejarah Sembilan Wali / Walisongo
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n
Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n
Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n
Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Untuk itu marilah kita semua tetap berTAWASSUL....
Sebelas Mukjizat Rasulullah SAW
Assalaamu'alaikum wr.wb,
Semua nabi yang diturunkan Allah untuk mengajarkan risalah-Nya di muka bumi, senantiasa mengalami penentangan dari sebagian ummatnya. Untuk menghadapi para penentang itu, Allah membekali nabi-nya dengan mukjizat. Nabi Ibrahim misalnya, punya mukjizat kebal terhadap api. Nabi Musa punya tongkat yang bisa berubah menjadi ular raksasa, Nabi Isa mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan menghidupkan orang yang sudah mati. Lalu apa mukjizat Nabi Muhammad saw? Mukjizat terbesar Rasulullah saw adalah kitab suci al-Qur'an.
Semua nabi yang diturunkan Allah untuk mengajarkan risalah-Nya di muka bumi, senantiasa mengalami penentangan dari sebagian ummatnya. Untuk menghadapi para penentang itu, Allah membekali nabi-nya dengan mukjizat. Nabi Ibrahim misalnya, punya mukjizat kebal terhadap api. Nabi Musa punya tongkat yang bisa berubah menjadi ular raksasa, Nabi Isa mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan menghidupkan orang yang sudah mati. Lalu apa mukjizat Nabi Muhammad saw? Mukjizat terbesar Rasulullah saw adalah kitab suci al-Qur'an.
Jika mukjizat nabi-nabi yang lain hanya dapat disaksikan dan dirasakan oleh ummatnya pada jamannya saja, tapi al-Qur'an bisa disaksikan dan dinikmati oleh ummat dulu, sekarang dan masa mendatang. Dan lagi mukjizat Rasulullah tidak hanya kitab suci al-Qur'an saja, masih banyak lagi. Sebelas mukjizat yang ditampilkan di sini hanyalah sebagian mukjizat beliau. Berikut ini 11
mukjizat tersebut:
MEMANCARKAN SINAR KETIKA MASIH DALAM KANDUNGAN.
mukjizat tersebut:
MEMANCARKAN SINAR KETIKA MASIH DALAM KANDUNGAN.
Sewaktu bunda Siti Aminah mengandung Muhammad, ia mengalami beberapa keajaiban. Pada suatu malam dia bermimpi, seolah-olah ada cahaya dari perutnya yang memancar terang benderang menyinari seluruh alam. Hingga dalam mimpi itu dia dapat melihat gedung-gedung di kota Syam. Dia juga mendengar bisikan yang menyatakan bahwa, "Aku sedang mengandung pemimpin ummat."
MENDATANGKAN BANYAK REZEKI. Semasa kecil Muhammad pernah dititipkan kepada Halimah as Sa'diyah, sebuah keluarga yang tergolong miskin. Tapi sejak kedatangan bayi Muhammad, keluarga ini banyak mendapatkan berkah. Sebelumnya, air susu Halimah sedikit sekali, sehingga untuk menyusui anaknya sendiri saja kurang. Tapi sejak ada Muhammad, air susunya bertambah banyak, hingga kantung susunya kelihatan besar. Tidak itu saja, kantong susu untanya juga ikut membesar. Padahal air susu unta ini sebelumnya tak ada, apalagi umur unta itu sudah lanjut. Domba-domba yang mereka pelihara juga menjadi gemuk dan semakin banyak air
susunya. Kehidupan keluarga Halimah berubah diliputi kegembiraan, damai dan tidak dirundung duka, cemas dan lainnya. Muhammad pun tumbuh dengan baik.
DIOPERASI MALAIKAT.
Suatu saat ketika bocah Muhammad bersama saudaranya sedang mengembala kambing, ia mengalami keajaiban. Tiba-tiba datang dua orang berbaju putih bersih (malaikat) menghampirinya. Lalu secepat kilat mereka merebahkan Muhammad dan membelah dadanya. Mereka mengambil darah hitam legam dari perut Muhammad, sambil berkata, "Ini adalah tempat sarang
setan." Hati dan perut bocah Muhammad dicuci dengan air yang dibawa dua malaikat itu. Mereka lantas menghilang setelah mengembalikan dada Muhammad.
NAUNGAN AWAN AJAIB. Saat Muhammad diasuh Abu Thalib, ia pernah diajak pamannya itu berdagang ke negeri Syam. Dalam perjalanan niaga itu mereka kemudian bertemu dengan pendeta shalih bernama Buhaira. Pendeta ini melihat ada yang aneh pada mereka. Mereka selalu dinaungi awan yang berakan, sehingga terhindar dari sengatan matahari. Setelah bertemu dengan Muhammad, Buhaira merasa menemukan sifat-sifat kenabian akhir jaman pada diri bocah itu, sebagaimana ia baca pada Injil. Buhaira lantar berpesan kepada Abu Thalib, "Wahai Abu Thalib, kemenakanmu ini kelak akan menjadi orang besar. Hati-hatilah terhadap orang Yahudi." Usia 25 tahun Muhammad bekerja pada Khadijah sebagai tenaga penjual. Didampingi Maisarah --budak Siti Khadijah-- Muhammad memimpin kafilah niaga. Anehnya, meski melintasi gurun pasir dan sinar matahari menyengat kulit, selama Maisarah di samping Muhammad ia merasa teduh. Ada awan yang memayungi Muhammad selama perjalanan.
TEBAKAN TEPAT RASUL PADA KERTAS PERJANJIAN (TAHUN KE-9 KENABIAN). Rasul bersama pengikutnya mengalami isolasi total dari kaum Quraisy. Pengumuman isolasi itu digantungkan di Ka'bah, agar dapat dibaca semua orang. Pada suatu hari Rasulullah memberitahu pamannya Abu Thalib bahwa surat pengumuman itu sudah
usang dimakan anai-anai. Hanya kata-kata Allah saja yang masih tertinggal. "Siapakah yang masuk ke dalam Ka'bah hingga sanggup memberi tahu kemenakanku. Bilamana benar-benar tidak ada yang memasuki Ka'bah, sudah tentu pemberitahuan kemenakanku itu amat ajaib." Rasulullah sesungguhnya tidak pernah melihat surat itu. Abu Thalib bersama tokoh-tokoh Quraisy lalu membuktikan perkataan Rasulullah. Ternyata benar, karena beliau diberitahu Allah. Meski begitu kaum Quraish tetap berpendapat Muhammad itu pendusta yang harus dikucilkan.
BULAN TERBELAH DUA (TAHUN KE-9 KENABIAN).Nabi Muhammad diminta orang-orang kafir Makkah agar mempertunjukkan bukti nyata, bahwa beliu benar-benar utusan Allah, dan agama yang dibawanya murni dari Allah, bukan ciptaan beliu. Usai kaum kafir menuntut itu, tiba-tiba bulan terbelah menjadi dua, lalu beliau berkata, "Saksikanlah bukti kebenaran itu." Orang-orang kafir itu menyaksikan, cuma karena mereka bermuka dua, mereka mengelak. "Kita tangguhkan dulu pernyataan bahwa engkau sebagai utusan Allah. Kita tunggu kafilah dari Syam, apakah bulan terbelah ini hanya sekedar pandangan yang engkau silaukan atau engkau gunakan ilmu sihir dan sebagainya," pinta mereka. Begitu kafilah datang, mereka bertanya, "Apakah tuan-tuan juga pernah menyaksikan bulan terbelah menjadi dua?" "Ya," jawab mereka tegas. Namun toh mereka juga belum mengakui kenabian Muhammad.
ISRA' MI'RAJ (TAHUN KE-13 KENABIAN).
Isra' adalah perjalanan semalam Nabi dari Masjidil Haram menuju ke Baitul Maqdis Palestina. Mi'raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke langit ketujuh, untuk bertemu langsung dengan Allah menerima perintah shalat lima waktu. Ada di antara
pengikut Nabi yang ragu terhadap pengakuan perjalanan Rasulullah itu. Apalagi orang-orang kafir, mereka tidak percaya. Mereka minta bukti, berapa jumlah jendela dan tiang-tiang Baitul Maqdis? Rasulullah mula-mula menjawab pertanyaan mereka, namun Allah tiba-tiba mendatangkan gambaran Baitul Maqdis di hadapannya. Tentu saja Rasul kemudian mampu menjawab semua pertanyaan mereka.
SENANTIASA SELAMAT DARI PERBUATAN JAHAT.
Banyak kejadian yang membuktikan mukjizat ini. Umpamanya, pada malam menjelang keberangkatan Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, rumah beliau dikepung para pemuda anah buah Abu Jahal. Mereka siap siaga membunuh Nabi. Begitu Nabi keluar rumah mereka tebas dengan pedang, pikir mereka. Setelah berpesan kepada Ali bin Abi Thalib agar menggantikan tidur di tempat
beliau, dengan kepercayaan penuh kepada perlindungan Allah Nabi keluar rumah. Apa yang terjadi? Para pengepung itu tertidur dengan pedang tetap terhunus. Di sinilah mukjizat Nabi. Sehingga beliau dengan selamat keluar dari rumah.
MENDATANGKAN BANYAK REZEKI. Semasa kecil Muhammad pernah dititipkan kepada Halimah as Sa'diyah, sebuah keluarga yang tergolong miskin. Tapi sejak kedatangan bayi Muhammad, keluarga ini banyak mendapatkan berkah. Sebelumnya, air susu Halimah sedikit sekali, sehingga untuk menyusui anaknya sendiri saja kurang. Tapi sejak ada Muhammad, air susunya bertambah banyak, hingga kantung susunya kelihatan besar. Tidak itu saja, kantong susu untanya juga ikut membesar. Padahal air susu unta ini sebelumnya tak ada, apalagi umur unta itu sudah lanjut. Domba-domba yang mereka pelihara juga menjadi gemuk dan semakin banyak air
susunya. Kehidupan keluarga Halimah berubah diliputi kegembiraan, damai dan tidak dirundung duka, cemas dan lainnya. Muhammad pun tumbuh dengan baik.
DIOPERASI MALAIKAT.
Suatu saat ketika bocah Muhammad bersama saudaranya sedang mengembala kambing, ia mengalami keajaiban. Tiba-tiba datang dua orang berbaju putih bersih (malaikat) menghampirinya. Lalu secepat kilat mereka merebahkan Muhammad dan membelah dadanya. Mereka mengambil darah hitam legam dari perut Muhammad, sambil berkata, "Ini adalah tempat sarang
setan." Hati dan perut bocah Muhammad dicuci dengan air yang dibawa dua malaikat itu. Mereka lantas menghilang setelah mengembalikan dada Muhammad.
NAUNGAN AWAN AJAIB. Saat Muhammad diasuh Abu Thalib, ia pernah diajak pamannya itu berdagang ke negeri Syam. Dalam perjalanan niaga itu mereka kemudian bertemu dengan pendeta shalih bernama Buhaira. Pendeta ini melihat ada yang aneh pada mereka. Mereka selalu dinaungi awan yang berakan, sehingga terhindar dari sengatan matahari. Setelah bertemu dengan Muhammad, Buhaira merasa menemukan sifat-sifat kenabian akhir jaman pada diri bocah itu, sebagaimana ia baca pada Injil. Buhaira lantar berpesan kepada Abu Thalib, "Wahai Abu Thalib, kemenakanmu ini kelak akan menjadi orang besar. Hati-hatilah terhadap orang Yahudi." Usia 25 tahun Muhammad bekerja pada Khadijah sebagai tenaga penjual. Didampingi Maisarah --budak Siti Khadijah-- Muhammad memimpin kafilah niaga. Anehnya, meski melintasi gurun pasir dan sinar matahari menyengat kulit, selama Maisarah di samping Muhammad ia merasa teduh. Ada awan yang memayungi Muhammad selama perjalanan.
TEBAKAN TEPAT RASUL PADA KERTAS PERJANJIAN (TAHUN KE-9 KENABIAN). Rasul bersama pengikutnya mengalami isolasi total dari kaum Quraisy. Pengumuman isolasi itu digantungkan di Ka'bah, agar dapat dibaca semua orang. Pada suatu hari Rasulullah memberitahu pamannya Abu Thalib bahwa surat pengumuman itu sudah
usang dimakan anai-anai. Hanya kata-kata Allah saja yang masih tertinggal. "Siapakah yang masuk ke dalam Ka'bah hingga sanggup memberi tahu kemenakanku. Bilamana benar-benar tidak ada yang memasuki Ka'bah, sudah tentu pemberitahuan kemenakanku itu amat ajaib." Rasulullah sesungguhnya tidak pernah melihat surat itu. Abu Thalib bersama tokoh-tokoh Quraisy lalu membuktikan perkataan Rasulullah. Ternyata benar, karena beliau diberitahu Allah. Meski begitu kaum Quraish tetap berpendapat Muhammad itu pendusta yang harus dikucilkan.
BULAN TERBELAH DUA (TAHUN KE-9 KENABIAN).Nabi Muhammad diminta orang-orang kafir Makkah agar mempertunjukkan bukti nyata, bahwa beliu benar-benar utusan Allah, dan agama yang dibawanya murni dari Allah, bukan ciptaan beliu. Usai kaum kafir menuntut itu, tiba-tiba bulan terbelah menjadi dua, lalu beliau berkata, "Saksikanlah bukti kebenaran itu." Orang-orang kafir itu menyaksikan, cuma karena mereka bermuka dua, mereka mengelak. "Kita tangguhkan dulu pernyataan bahwa engkau sebagai utusan Allah. Kita tunggu kafilah dari Syam, apakah bulan terbelah ini hanya sekedar pandangan yang engkau silaukan atau engkau gunakan ilmu sihir dan sebagainya," pinta mereka. Begitu kafilah datang, mereka bertanya, "Apakah tuan-tuan juga pernah menyaksikan bulan terbelah menjadi dua?" "Ya," jawab mereka tegas. Namun toh mereka juga belum mengakui kenabian Muhammad.
ISRA' MI'RAJ (TAHUN KE-13 KENABIAN).
Isra' adalah perjalanan semalam Nabi dari Masjidil Haram menuju ke Baitul Maqdis Palestina. Mi'raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke langit ketujuh, untuk bertemu langsung dengan Allah menerima perintah shalat lima waktu. Ada di antara
pengikut Nabi yang ragu terhadap pengakuan perjalanan Rasulullah itu. Apalagi orang-orang kafir, mereka tidak percaya. Mereka minta bukti, berapa jumlah jendela dan tiang-tiang Baitul Maqdis? Rasulullah mula-mula menjawab pertanyaan mereka, namun Allah tiba-tiba mendatangkan gambaran Baitul Maqdis di hadapannya. Tentu saja Rasul kemudian mampu menjawab semua pertanyaan mereka.
SENANTIASA SELAMAT DARI PERBUATAN JAHAT.
Banyak kejadian yang membuktikan mukjizat ini. Umpamanya, pada malam menjelang keberangkatan Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, rumah beliau dikepung para pemuda anah buah Abu Jahal. Mereka siap siaga membunuh Nabi. Begitu Nabi keluar rumah mereka tebas dengan pedang, pikir mereka. Setelah berpesan kepada Ali bin Abi Thalib agar menggantikan tidur di tempat
beliau, dengan kepercayaan penuh kepada perlindungan Allah Nabi keluar rumah. Apa yang terjadi? Para pengepung itu tertidur dengan pedang tetap terhunus. Di sinilah mukjizat Nabi. Sehingga beliau dengan selamat keluar dari rumah.
Menghindari kejaran para pembunuh itu, Nabi bersama Abu Bakar kemudian bersembunyi di gua Tsur yang terletak di gunung Tsur. Keajaiban pun terjadi lagi. Allah mengirimkan pasukannya berupa laba-laba. Begitu Nabi dan Abu Bakar masuk ke dalam gua, laba-laba itu menutup mulut gua dengan sarangnya. Ketika para pemburu itu sampai persis di mulut gua, mereka melihat sarang itu. "Bila ada orang bersembunyi dalam gua ini, mestinya sarang laba-laba ini rusak," fikir mereka. Dan selamatlah Nabi.
Orang-orang kafir lantas membuat lomba, siapa yang bisa menangkap Nabi hidup atau mati, mendapat hadiah 100 onta. Suraqah bin Malik pun melesat dengan kudanya melakukan pengejaran, untuk meraih hadiah itu. Ketika jarak Suraqah sudah
dekat dengan Nabi, Abu Bakar yang senantiasa berjalan di belakang beliau
berteriak, "Wahai Rasulullah, Suraqah akan membunuh kita." Tiba-tiba bumi terbelah dan kuda Suraqah terbenam ke dalam tanah hingga batas perut. Suraqah sendiri terpelanting ke tanah penuh debu.
KEKUATAN FISIK YANG DAHSYAT.
Di Makkah konon ada seorang kuat bertubuh kekar, dan jago gulat yang belum ada tandingannya. Namanya Rukanah bin Abdu Yazid. Rasulullah kemudian menantang duel, "Seandainya aku mampu mengalahkanmu apakah engkau menyadari bahwa yang aku katakan adalah benar?," kata Nabi. Rukanah pun meng-iyakan. Duel pun terjadi. Sekali tampar Rukanah jatuh tersungkur tak berdaya. Rukanah yang kekar itu hampir tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia lantas bangun dan pasang kuda-kuda lagi. Namun dengan hanya satu dorongan Nabi, dia tergeletak lagi di tanah. Rukanah kemudian mengaku kalah dan masuk Islam. Bukti lain, saat pasukan Islam lagi menggali parit di kota Madinah, guna membendung pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Di tengah penggalian itu, Salman al Farisi menemukan batu raksasa berwarna putih yang menjadi penghalang. Para sahabat sudah bekerja keras untuk menghancurkan atau memindahkan batu itu, namun tiada yang sanggup. Nabi lantas mengambil godam dari tangan Salman. Dengan sekali pukul, batu raksasa itu retak dan memancarkan sinar. Beliau lantasb bertakbir. Nabi mengayunkan godamnya untuk kedua kalinya, sampai tiga kali barulah batu raksasa itu hancur. Begitulah kekuatan orang yang senantiasa dekat dengan Allah.
MEMBERI BERKAH PADA MAKANAN. Penggalian parit itu sungguh memeras tenaga. Karena itu banyak para sahabat yang merasakan sangat lapar. Perut Nabi sendiri tampak mengempis dan dibalut dengan bebat pinggang disertai tiga batu untuk menekan rasa lapar. Jabir tak sampai hati melihat perut Nabi itu. Ia lantas bergegas pulang menyembelih anak biri-biri yang masih kecil. Ia juga memasak gandum sebagai makanan pokok orang Arab waktu itu. Begitu matang masakan itu, ia mengundang Rasulullah sendirian makan di rumahnya. Tapi justru Nabi mengajak semua sahabat yang ikut menggali parit itu. Nabi berpesan kepada Jabir agar belanga tetap diletakkan di atas tungku dan jangan sekali-kali ditumpahkan. Sungguh bingung Jabir mendengar Nabi mengajak seluruh sahabatnya itu. Dapat dipastikan makanan yang tersedia tidak mencukupi. Setelah semuanya mengumpul, Rasulullah sendiri yang membagikan makanan kepada seluruh sahabat. Di sini keajaiban Nabi terjadi. Isi belanga itu masih tetap seperti semula. Bahkan ketika mereka sudah merasa kenyang, isi belanga itu pun tidak berkurang.
MENYEMBUHKAN PENYAKIT. Di dalam gua Tsur, Abu Bakar yang sedang menjaga Nabi tidur, kakinya digigit ular. Bukan main sakitnya, sampai dia menangis. Hebatnya, setelah luka itu diolesi ludahnya Nabi sakitnya sirna tiada bekas. Ada kejadian lain. Di Madinah, usai shalat shubuh Nabi menoleh ke kiri dan ke kanan melihat para sahabatnya. Tak tampak di antara jamaah shalat shubuh itu Ali bin Abi Thalib. Kata para sahabat, Ali sedang sakit mata. "Panggilah dia," pinta Rasul. Setelah Ali tiba dihadapan beliau, Rasulullah mengusap mata Ali. Ajaib sekali. Mata Ali sembuh seketika, bahkan lebih indah dan sorotnya lebih tajam. Masih ada bukti. Ketika perang Uhud, setelah para pemanah pasukan Islam yang ada di atas bukit turun karena tergiur harta rampasan perang, pasukan kafir yang dipimpin Khalid bin Walid, kembali lagi menyerang pasukan Islam. Karena posisi strategis di puncak bukit telah ditinggalkan pasukan Islam, pasukan kafir mampu mengocar ngacirkan pasukan Islam. Nabi sendiri hampir terbunuh, jika tidak dilindungi para sahabat. Salah satu pelindung itu adalah Qatadah, tiba-tiba matanya terbidik oleh anak panah. Mata itu meleleh keluar. Oleh Nabi mata dipasang kembali, lantas beliau berdo'a, "Ya Allah, jagalah Qatadah sebagaimana dia menjaga Nabi-Mu, dan jadikan matanya lebih elok dan lebih tajam." Beberapa saat mata Qatadah pun sembuh.
dekat dengan Nabi, Abu Bakar yang senantiasa berjalan di belakang beliau
berteriak, "Wahai Rasulullah, Suraqah akan membunuh kita." Tiba-tiba bumi terbelah dan kuda Suraqah terbenam ke dalam tanah hingga batas perut. Suraqah sendiri terpelanting ke tanah penuh debu.
KEKUATAN FISIK YANG DAHSYAT.
Di Makkah konon ada seorang kuat bertubuh kekar, dan jago gulat yang belum ada tandingannya. Namanya Rukanah bin Abdu Yazid. Rasulullah kemudian menantang duel, "Seandainya aku mampu mengalahkanmu apakah engkau menyadari bahwa yang aku katakan adalah benar?," kata Nabi. Rukanah pun meng-iyakan. Duel pun terjadi. Sekali tampar Rukanah jatuh tersungkur tak berdaya. Rukanah yang kekar itu hampir tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia lantas bangun dan pasang kuda-kuda lagi. Namun dengan hanya satu dorongan Nabi, dia tergeletak lagi di tanah. Rukanah kemudian mengaku kalah dan masuk Islam. Bukti lain, saat pasukan Islam lagi menggali parit di kota Madinah, guna membendung pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Di tengah penggalian itu, Salman al Farisi menemukan batu raksasa berwarna putih yang menjadi penghalang. Para sahabat sudah bekerja keras untuk menghancurkan atau memindahkan batu itu, namun tiada yang sanggup. Nabi lantas mengambil godam dari tangan Salman. Dengan sekali pukul, batu raksasa itu retak dan memancarkan sinar. Beliau lantasb bertakbir. Nabi mengayunkan godamnya untuk kedua kalinya, sampai tiga kali barulah batu raksasa itu hancur. Begitulah kekuatan orang yang senantiasa dekat dengan Allah.
MEMBERI BERKAH PADA MAKANAN. Penggalian parit itu sungguh memeras tenaga. Karena itu banyak para sahabat yang merasakan sangat lapar. Perut Nabi sendiri tampak mengempis dan dibalut dengan bebat pinggang disertai tiga batu untuk menekan rasa lapar. Jabir tak sampai hati melihat perut Nabi itu. Ia lantas bergegas pulang menyembelih anak biri-biri yang masih kecil. Ia juga memasak gandum sebagai makanan pokok orang Arab waktu itu. Begitu matang masakan itu, ia mengundang Rasulullah sendirian makan di rumahnya. Tapi justru Nabi mengajak semua sahabat yang ikut menggali parit itu. Nabi berpesan kepada Jabir agar belanga tetap diletakkan di atas tungku dan jangan sekali-kali ditumpahkan. Sungguh bingung Jabir mendengar Nabi mengajak seluruh sahabatnya itu. Dapat dipastikan makanan yang tersedia tidak mencukupi. Setelah semuanya mengumpul, Rasulullah sendiri yang membagikan makanan kepada seluruh sahabat. Di sini keajaiban Nabi terjadi. Isi belanga itu masih tetap seperti semula. Bahkan ketika mereka sudah merasa kenyang, isi belanga itu pun tidak berkurang.
MENYEMBUHKAN PENYAKIT. Di dalam gua Tsur, Abu Bakar yang sedang menjaga Nabi tidur, kakinya digigit ular. Bukan main sakitnya, sampai dia menangis. Hebatnya, setelah luka itu diolesi ludahnya Nabi sakitnya sirna tiada bekas. Ada kejadian lain. Di Madinah, usai shalat shubuh Nabi menoleh ke kiri dan ke kanan melihat para sahabatnya. Tak tampak di antara jamaah shalat shubuh itu Ali bin Abi Thalib. Kata para sahabat, Ali sedang sakit mata. "Panggilah dia," pinta Rasul. Setelah Ali tiba dihadapan beliau, Rasulullah mengusap mata Ali. Ajaib sekali. Mata Ali sembuh seketika, bahkan lebih indah dan sorotnya lebih tajam. Masih ada bukti. Ketika perang Uhud, setelah para pemanah pasukan Islam yang ada di atas bukit turun karena tergiur harta rampasan perang, pasukan kafir yang dipimpin Khalid bin Walid, kembali lagi menyerang pasukan Islam. Karena posisi strategis di puncak bukit telah ditinggalkan pasukan Islam, pasukan kafir mampu mengocar ngacirkan pasukan Islam. Nabi sendiri hampir terbunuh, jika tidak dilindungi para sahabat. Salah satu pelindung itu adalah Qatadah, tiba-tiba matanya terbidik oleh anak panah. Mata itu meleleh keluar. Oleh Nabi mata dipasang kembali, lantas beliau berdo'a, "Ya Allah, jagalah Qatadah sebagaimana dia menjaga Nabi-Mu, dan jadikan matanya lebih elok dan lebih tajam." Beberapa saat mata Qatadah pun sembuh.
Wallaahu A'lam
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
9 Pedang Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW
9 Pedang Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW
AnTo HUD mengutip dari : http://rhodesyup1.wordpress.com/2009/08/18/9-pedang-nabi-muhammad-saw-beserta-nama-namanya/
Juga dikenal sebagai ‘Ma’thur Al-Fijar’ adalah pedang yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu yang pertama di Mekah. Pedang ini diberi oleh ayahanda beliau, dan dibawa waktu hijrah dari Mekah ke Medinah sampai akhirnya diberikan bersama-sama dengan peralatan perang lain kepada Ali bin Abi Thalib.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 99 cm. Pegangannya terbuat dari emas dengan bentuk berupa 2 ular dengan berlapiskan emeralds dan pirus. Dekat dengan pegangan itu terdapat Kufic ukiran tulisan Arab berbunyi: ‘Abdallah bin Abd al-Mutalib’.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
2. Al Adb
Al-’Adb, nama pedang ini, berarti ‘memotong’ atau ‘tajam.’ Pedang ini dikirim ke para sahabat Nabi Muhammad SAW sesaat sebelum Perang Badar. Beliau menggunakan pedang ini di Perang Uhud dan pengikut-pengikutnnya menggunakan pedang ini untuk menunjukkan kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW. Sekarang pedang ini berada di masjid Husain di Kairo Mesir.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
3.Dhu Al Faqar
Dhu Al Faqar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan pada waktu perang Badr. Dan dilaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan pedang ini kepada Ali bin Abi Thalib, yang kemudian Ali mengembalikannya ketika Perang Uhud dengan bersimbah darah dari tangan dan bahunya, dengan membawa Dhu Al Faqar di tangannya. Banyak sumber mengatakan bahwa pedang ini milik Ali Bin Abi Thalib dan keluarga. Berbentuk blade dengan dua mata.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
4.Al Battar
Al Battar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Pedang ini disebut sebagai ‘Pedangnya para nabi‘, dan di dalam pedang ini terdapat ukiran tulisan Arab yang berbunyi : ‘Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Zakaria AS, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW’. Di dalamnya juga terdapat gambar Nabi Daud AS ketika memotong kepala dari Goliath, orang yang memiliki pedang ini pada awalnya. Di pedang ini juga terdapat tulisan yang diidentifikasi sebagai tulisan Nabataean. Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 101 cm. Dikabarkan bahwa ini adalah pedang yang akan digunakan Nabi Isa AS kelak ketika beliau turun ke bumi kembali untuk mengalahkan Dajjal.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
gambar ukiran nama-nama para nabi di dalamnya :
gambar Nabi Daud AS memenggal kepala Goliath:
5.Hatf
Hatf adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Dikisahkan bahwa Nabi Daud AS mengambil pedang ‘Al Battar’ dari Goliath sebagai rampasan ketika beliau mengalahkan Goliath tersebut pada saat umurnya 20 tahun. Allah SWT memberi kemampuan kepada Nabi Daud AS untuk ‘bekerja’ dengan besi, membuat baju baja, senjata dan alat perang, dan beliau juga membuat senjatanya sendiri. Dan Hatf adalah salah satu buatannya, menyerupai Al Battar tetapi lebih besar dari itu. Beliau menggunakan pedang ini yang kemudian disimpan oleh suku Levita (suku yang menyimpan senjata-senjata barang Israel) dan akhirnya sampai ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sekarang pedang ini berada di Musemum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade, dengan panjang 112 cm dan lebar 8 cm.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
6.Al Mikhdham
Ada yang mengabarkan bahwa pedang ini berasal dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian diberikan kepada Ali bin Abi Thalib dan diteruskan ke anak-anaknya Ali. Tapi ada kabar lain bahwa pedang ini berasal dari Ali bin Abi Thalib sebagai hasil rampasan pada serangan yang beliau pimpin di Syria. Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 97 cm, dan mempunyai ukiran tulisan Arab yang berbunyi: ‘Zayn al-Din al-Abidin’.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
7.Al Rasub
Ada yang mengatakan bahwa pedang ini dijaga di rumah Nabi Muhammad SAW oleh keluarga dan sanak saudaranya seperti layaknya bahtera (Ark) yang disimpan oleh bangsa Israel.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 140 cm, mempunyai bulatan emas yang didalamnya terdapat ukiran tulisan Arab yang berbunyi: ‘Ja’far al-Sadiq’.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
8.Al Qadib
Al-Qadib berbentuk blade tipis sehingga bisa dikatakan mirip dengan tongkat. Ini adalah pedang untuk pertahanan ketika bepergian, tetapi tidak digunakan untuk peperangan. Ditulis di samping pedang berupa ukiran perak yang berbunyi syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasul Allah – Muhammad bin Abdallah bin Abd al-Mutalib.” Tidak ada indikasi dalam sumber sejarah bahwa pedang ini telah digunakan dalam peperangan. Pedang ini berada di rumah Nabi Muhammad SAW dan kemudian hanya digunakan oleh khalifah Fatimid.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Panjangnya adalah 100 cm dan memiliki sarung berupa kulit hewan yang dicelup.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
9.Qal’a
Pedang ini dikenal sebagai “Qal’i” atau “Qul’ay.” Nama yang mungkin berhubungan dengan tempat di Syria atau tempat di dekat India Cina. Ulama negara lain bahwa kata “qal’i” merujuk kepada “timah” atau “timah putih” yang di tambang berbagai lokasi. Pedang ini adalah salah satu dari tiga pedang Nabi Muhammad SAW yang diperoleh sebagai rampasan dari Bani Qaynaqa. Ada juga yang melaporkan bahwa kakek Nabi Muhammad SAW menemukan pedang ini ketika beliau menemukan air Zamzam di Mekah.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 100 cm. Didalamnya terdapat ukiran bahasa Arab berbunyi: “Ini adalah pedang mulia dari rumah Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah.” Pedang ini berbeda dari yang lain karena pedang ini mempunyai desain berbentuk gelombang.
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
Sumber http://rhodesyup1.wordpress.com/2009/08/18/9-pedang-nabi-muhammad-saw-beserta-nama-namanya/
Imam Al Ghozali & Abdul Qodir Al Jaelani
Abu Hamid Al Ghozali
Dilahirkan di Thusi pada tahun 450 H. Beliau adalah seorang alim yang banyak menghabiskan masa hidupnya untuk menuntut ilmu dan mendakwahkan islam, tetapi sangat disayangkan dalam perjalanannya dalam menuntut ilmu beliau banyak terpengaruh ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu kalam. Beliau pernah bercerita tentang dirinya bahwa “bekal pengetahuan saya tentang hadits sangat sedikit”. Ibnu Taimiyah dalam hal ini berkomentar Abu Hamid (Al Ghozali) kurang begitu pengalaman dengan atsar-atsar Rasulullah dan orang-orang salaf (para sahabat) sebagaimana orang-orang yang menguasai dalam masalah tersebut, yaitu orang-orang yang dapat membedakan sohih dan dhoifnya sebuah hadits. Oleh karena itu beliau banyak menyebutkan dalam kitab-kitabnya hadits-hadits yang lemah bahkan hadits yang dusta. Seandainya beliau mengetahui tentang ilmu hadits niscaya beliau tidak akan menyebutkannya.
Salah satu dari karya terbesar Al Ghozali adalah kitab Ihya Ulumiddin yang terkenal di kalangan masyarakat umum dan golongan teterntu. Ada sebagian kelompok mengambilnya kemudian mencela isinya secara mutlak dan sebagian yang lain mengambilnya kemudian memuji secara berlebihan. Kedua kelompok ini kurang adil dalam memberikan penilaian. Adapun sikap yang harus diambil adalah sikap Inshof (pertengahan) adalah menyebutkan kebaikan-kebaikannya disertai dengan menyebutkan kesalahannya.
Syaikhul Islam berkomentar tentang kitab Al Ihya’ ini :
“adapun apa yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ ada beberapa isinya yang menyesatkan seperti pada masalah-masalah sombong, ujub, riya’ dan dengki kebanyakan isi dari kitab Ihya’ tersebut menukil dari Harits Al Muhasibi dalam kitab Al Ri’ayah. Dari ucapan-ucapan ini ada yang bisa diterima atau sebaliknya ditolak serta ada juga yang di dalamnya pertentangan-pertentangan”Di kitab Al Ihya’ sendiri ada faedah-faedah yang banyak tetapi tidak sedikit materi-materi yang tercela dan merusak berupa ucapan-ucapan filsafat yang berkenaan dengan tauhid, kenabian, bahkan urusan akhirat. Telah dinukilkan dari biografi beliau bahwa di akhir hayatnya beliau mendalami hadits dan belajar bersama orang yang menguasai ilmu hadits serta mendalami kitab sohih Bukhori Muslim. Seandainya beliau masih hidup tentunya sejak saat itu lebih mengutamkan ilmu hadits. Berkata Shidiq Hasan K. “dikisahkan oleh Ali Al Qori bahwa ketika Al Ghozali meninggal kitab bukhori sedang berada di atas dadanya”.
Demikian biografi singkat Imam Al Ghozali yang banyak membawa pemahaman filsafat walaupun di akhir hayatnya kembali ke pahaman sahabat (salaf), tetapi sayang buku filsafatnya sudah terlanjur tersebar di seluruh dunia dan tidak ada yang mampu mencegahnya.
Abdul Qadir Al-Jailani
Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.
Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.
Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari’atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo’a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al Jin:18)Kelahirannya
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.
Pendidikannya
Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Pemahamannya
Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, “Dia (Allah) di arah atas, berada di atas ‘ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. “Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, “Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ (Allah berada di atas ‘ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah di atas ‘Arsy.
Dakwahnya
Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.
Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.
Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, “Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.
Wafatnya
Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.
ANTO HUD Mengutip dari www.al-madina.s5.com.
Syeikh Abdul Samad Al-Palembani: Dari Nusantara ke Tanah Arab
Syeikh Abdul Samad Al-Palembani: Dari Nusantara ke Tanah Arab
Dalam perkembangan intelektualisme Islam Nusantara atau biasa juga disebut dunia Melayu -khususnya pada era abad ke-18, peranan Syeikh Abdul Samad Al-Palembani tidak dapat dikesampingkan. Syeikh Al-Palembani, merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya se[erti Nuruddin Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan ramai lagi.
Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi peranan dan kedudukan Al-Palembani menjadi amat penting dalam dinamika Islam. Malah, sebahagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palembani sebagai tokoh yang memiliki pengaruh yang penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Bahkan beliau nama besar dalam sejarah Islam di Nusantara, juga berkaitan dengan intelektualitinya di dunia Arab, khususnya semasa beliau menimba ilmu di Mekah.
Syeikh Abdul Samad Al-Palembani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Tentang nama lengkap Syeikh Al-Palimbani, setakat yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Palembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Palembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Daripada ketiga-tiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
´Percanggahan´ pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami memandangkan sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri mahupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Palembani sebenarnya tidak jauh berbeza daripada ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdul rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari.
Dari segi salasilah, nasab Syeikh Al-Palembani berketurunan Arab, iaitu dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Palembani, adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Seperti lazimnya anak-anak kecil pada masa itu, Syeikh Al-Palembani menerima pengajaran agama daripada orang tuanya, selain beberapa guru di kampungnya yang sempat membimbingnya. Minatnya terhadap ilmu-ilmu keagamaan telah terserlah sejak zaman kanak-kanak lagi. Misalnya, beliau dikatakan pernah mendalami ilmu tasawuf pada usia remaja dengan mendalami kitab At-Tuhfah Al-Mursalah (Anugerah yang Diberikan) daripada salah seorang gurunya, Syeikh Abdul Rahman bin Abdul Aziz Al-Maghribi.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Acheh. Selain di kampung halamannya, Syeikh Al-Palembani juga memperoleh pendidikan agama di Kedah dan Patani. Oleh sebab dari sedari kecil beliau lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat bahawa beliau adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu tersebut.
Merasa kurang puas dengan ilmu yang dicapainya, orang tua Al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab iaitu Mekah, dan Madinah. Tidak jelas, bilakah beliau dihantar ke salah satu pusat ilmu Islam pada waktu itu. Setakat yang terakam dalam sejarah, beliau dikatakan menganjak dewasa ketika ´berhijrah´ ke tanah Arab. Di negeri barunya ini, beliau terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun beliau menetap di Mekah, tidka bermakna beliau melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Palembani, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak perpindahannya di tanah Arab itu, Syeikh Al-Palembani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitidan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri. Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Acheh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, iaitu kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´ Ibnu Arabi; bahawa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´ Allah s.w.t sebagai ´penguasa´ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Pengembaraan panjangnya berakhir pada tahun 1788, apabila Yang Maha Esa memanggilnya pulang untuk selama-lamanya, dalam usia merangkak senja.
Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi peranan dan kedudukan Al-Palembani menjadi amat penting dalam dinamika Islam. Malah, sebahagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palembani sebagai tokoh yang memiliki pengaruh yang penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Bahkan beliau nama besar dalam sejarah Islam di Nusantara, juga berkaitan dengan intelektualitinya di dunia Arab, khususnya semasa beliau menimba ilmu di Mekah.
Syeikh Abdul Samad Al-Palembani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Tentang nama lengkap Syeikh Al-Palimbani, setakat yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Palembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Palembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Daripada ketiga-tiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
´Percanggahan´ pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami memandangkan sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri mahupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Palembani sebenarnya tidak jauh berbeza daripada ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdul rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari.
Dari segi salasilah, nasab Syeikh Al-Palembani berketurunan Arab, iaitu dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Palembani, adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Seperti lazimnya anak-anak kecil pada masa itu, Syeikh Al-Palembani menerima pengajaran agama daripada orang tuanya, selain beberapa guru di kampungnya yang sempat membimbingnya. Minatnya terhadap ilmu-ilmu keagamaan telah terserlah sejak zaman kanak-kanak lagi. Misalnya, beliau dikatakan pernah mendalami ilmu tasawuf pada usia remaja dengan mendalami kitab At-Tuhfah Al-Mursalah (Anugerah yang Diberikan) daripada salah seorang gurunya, Syeikh Abdul Rahman bin Abdul Aziz Al-Maghribi.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Acheh. Selain di kampung halamannya, Syeikh Al-Palembani juga memperoleh pendidikan agama di Kedah dan Patani. Oleh sebab dari sedari kecil beliau lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat bahawa beliau adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu tersebut.
Merasa kurang puas dengan ilmu yang dicapainya, orang tua Al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab iaitu Mekah, dan Madinah. Tidak jelas, bilakah beliau dihantar ke salah satu pusat ilmu Islam pada waktu itu. Setakat yang terakam dalam sejarah, beliau dikatakan menganjak dewasa ketika ´berhijrah´ ke tanah Arab. Di negeri barunya ini, beliau terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun beliau menetap di Mekah, tidka bermakna beliau melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Palembani, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak perpindahannya di tanah Arab itu, Syeikh Al-Palembani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitidan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri. Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Acheh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, iaitu kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´ Ibnu Arabi; bahawa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´ Allah s.w.t sebagai ´penguasa´ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Pengembaraan panjangnya berakhir pada tahun 1788, apabila Yang Maha Esa memanggilnya pulang untuk selama-lamanya, dalam usia merangkak senja.
K.H Sirajuddin Abbas - Siapakah Ahlussunnah?
K.H Sirajuddin Abbas - Siapakah Ahlussunnah?
Anto HUD Mengutip dari at-tahzir.
Yang teramat mulia Nabi Muhammad s.a.w wafat tanggal 2 Rabi'ul Awal tahun 11 Hijrah, bersamaan dengan 8 Juni 632 M. Pada hari wafat beliau sekumpulan kaum Ansar (Sahabat-sahabat Nabi yang berasal dari Madinah) berkumpul di suatu Balairung yang bernama SAQIFAH BANI SA'IDAH untuk mencari Khalifah (pengganti Nabi yang sudah wafat). Kaum Ansar ini dipimpin oleh Sa'ad bin Ubadah (Ketua kaum Ansar dari suku Khazraj). Mendengar hal ini kaum Muhajirin (Sahabat-sahabat asal dari Makkah yang berpindah ke Madinah) datang bersama-sama ke Balairung itu, dengan dipimpin oleh Saidina Abu Bakar as-Siddiq Rda. Sesudah terjadi perdebatan yang agak sengit antara kaum Ansar dan kaum Muhajirin yang setiapnya mengemukakan calon dari pihaknya, bersepakatlah mereka mengangkat sahabat yang paling utama Saidina Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah yang pertama. Perdebatan ketika itu hanya terjadi antara golongan kaum Ansar yang mengemukakan Sa'ad bin Ubaidah sebagai calonnya dengan kaum Muhajirin yang mengemukakan Saidina Umar bin Khattab atau Saidina Abu Bakar sebagai calon-calon khalifah Nabi. Dalam pertemuan itu tidak ada seorang pun yang mengemukakan Saidina Ali bin Abi Talib sebagai Khalifah pertama pengganti Nabi. Faham kaum Syi'ah belum ada ketika itu. Yang ada hanya kaum Ansar dan kaum Muhajirin, tetapi ternyata bahawa perselisihan faham antara kaum Ansar dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqah dalam usuluddin, kerana perselisihan pendapat sudah selesai di kala Saidina Abu Bakar sudah terangkat dan terpilih secara suara sepakat.Pada tahun 30 Hijriah timbul faham Syi'ah yang diapi-apikan oleh Abdullah bin Saba' yang berposisi terhadap Khalifah Saidina Usman bin Affan. Abdullah bin Saba' adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak begitu dapat penghargaan dari Khalifah dan juga dari umat Islam yang lain. Oleh kerana itu ia kesal. Sesudah terjadi "peperangan Siffin", peperangan saudara sesama Islam, iaitu antara tentera Khalifah Ali bin Abi Talib dengan tentera Mu'awiyah bin Abu Sufian (Gabenor Syria) pada tahun 37 Hijrah timbul pula firqah Khawarij, iaitu orang-orang yang keluar dari Saidina Mu'awiyah r.a dan dari Saidina Ali r.a.Pada permulaan abad ke II H timbul pula kaum Muktazilah, iaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin 'Atha' (lahir 80 H-wafat 113 H) dan Umar bin Ubaid (wafat145H). Kaum Muktazilah ini mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, yang berlainan dan berlawanan dengan I'itiqad Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Di antara fatwa-fatwa yang ganjil dari kaum Muktazilah itu, ialah adanya "Manzilah bainal manzilatein", yakni ada tempat di antara dua tempat, ada tempat yang lain selain syurga dan neraka. Banyak lagi fatwa-fatwa kaum Muktazilah, umpamanya fatwa yang mengatakan bahawa sifat Tuhan tidak ada, bahawa Quran itu makhluk, bahawa Mikraj Nabi hanya dengan roh saja, bahawa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadis-hadis Nabi, bahawa syurga dan neraka akan lenyap, dan lain-lain fatwa yang keliru.Kemudian timbul pula faham Qadariyah yang mengatakan bahawa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak sangkut-paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak peduli lagi apa yang akan dibuat oleh manusia. Kemudian timbul pula faham Jabariyah yang mengatakan bahawa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhtiar.Kemudian timbul pula faham Mujassimah dan Ibn Taimiyyah, yakni faham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, ada tangan, ada kaki, duduk di atas kerusi, turun dari tangga seperti manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu dan lain-lain kepercayaan. Kemudian lahir pula faham-faham yang keliru tentang tawasul dan wasilah, tentang ziarah dan istigatsah dari Ibnu Taimiyah juga yang semuanya merosakkan dunia Islam dan kaum Muslimin.KAUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH MUNCUL PADA ABAD KE III HIJRAH Sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat tadi maka pada akhir abad ke III Hijrah timbullah golongan yang bernama Kaum Ahlussunnah wal Jama'ah, yang diketu ai oleh dua orang 'Ulama besar dalam Usuluddin, iaitu Syeikh Abu Hasan Ali Al Asy'ari dan Syeikh Abu Mansur AI-Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jama'ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunnah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut 'Asy 'ari atau Asya'irah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama Abu Hasan Ali Al Asy'ari.Sejarah ringkas guru besar ini adalah: Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa AI-Asy'ari. Abi Musa ini seorang sahabat Nabi yang terkenal dalam sejarah Islam. Abu Hasan lahir di Basrah (Iraq) tahun 260 H, yakni 55 tahun sesudah meninggalnya Imam Syafie r.a dan meninggai di Basrah juga pada tahun 324H, dalam usia 64 tahun. Beliau pada mulanya adalah murid dari bapa tirinya seorang Ulama Besar kaum Muktazilah, Syeikh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al Jabai (meninggal tahun 303 H), tetapi kemudian beliau taubat dan keluar dari golongan Muktazilah itu. Pada masa itu (abad ke III H) banyak sekali Ulama-ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah iaitu Ma'mun bin Harun Ar-Rashid (198-218H), AI-Muktasim (218-227H) dan AI-Watsiq (227-232H) adalah khalifah-khalifah penganut faham Muktazilah atau sekurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Muktazilah. Dalam sejarah dinyatakan bahawa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan "fitnah Quran makhluk" yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hasan AI-Asy'ari muda remaja ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu masa gilang gemilang bagi mereka, kerana fahamannya disokong oleh pemerintah. Imam Abu Hasan termasuk salah seorang pemuda yang belajar kepada seorang Syeikh dari Muktazilah, iaitu Muhammad bin Abdul Wahab al Jabai wafat 303 H. Pembaca jangan keliru, ini bukan Muhammad bin Abdul Wahab, pembangun Mazhab Wahabi di Nejdi (1115 H -1206 H)-(Riyadh) Imam Abu Hasan AI-Asy'ari melihat, bahawa dalam fahaman kaum Muktazilah banyak terdapat kesalahan besar, banyak yang bertentangan dengan I'itiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabat beliau dan banyak yang bertentangan dengan Quran dan Hadis. Maka kerana itu beliau keluar dari golongan Muktazilah dan bertaubat kepada Tuhan atas kesalahan-kesalahannya yang lalu. Bukan saja begitu, tetapi beliau ke hadapan untuk melawan dan mengalahkan kaum Muktazilah yang salah itu. Pada suatu hari beliau naik ke sebuah mimbar di Masjid Basrah yang besar itu dan mengucapkan pidato yang bersemangat dengan suara lantang yang didengar oleh banyak kaum Muslimin yang berkumpul di situ. Di antara pidato beliau begini: "Saudara-saudara Kaum Muslimin Yang Terhormat! Siapa yang sudah mengetahui saya, baiklah, tetapi bagi yang belum mengetahui maka saya ini adalah Abu Hasan Ali AI-Asy'ari anak dari Ismail bin Abi Basyar. Dulu saya berpendapat bahawa Quran itu makhluk, bahawa Tuhan Allah tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahawasanya manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya, serupa dengan kaum Muktazilah. Sekarang saya nyatakan terus terang bahawa saya telah taubat dari faham Muktazilah dan sekarang saya lemparkan I'itiqad Muktazilah itu seperti saya melemparkan baju saya ini (ketika itu dibukanya bajunya dan dilemparkan) dan saya setiap saat bersedia untuk menolak fahaman Muktazilah yang salah dan sesat itu". (Zhumrul Islam IV halaman 67). Dari mulai waktu itu Imam Abu Hasan Ali AI-Asy'ari berjuang melawan kaum Muktazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum Muktazilah di mana-mana, merumuskan dan menuliskan dalam kitab-kitabnya I'itiqad-l'itiqad kaum Ahlussunnah wal Jama'ah sehingga nama beliau masyhur sebagai seorang Ulama 'Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan fahaman Muktazilah yang salah itu. Beliau mengumpulkan sebanyak-banyaknya dari Quran dan Hadis fahaman-fahaman atau I'itiqad Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabat Nabi diperincinya dengan sebaik-baiknya. Beliau mengarang buku-buku Usuluddin banyak sekali.Berkata Imam Zabidi, pengarang Kitab Ittihaf Sadatil Muttaqin syarah Ihya Ulumuddin: "Imam Asy'ari mengarang sekitar200 kitab" (lihat Ittihaf jilid II halaman 7) Di antara kitab-kitab karangan Imam Abu Hasan AI-Asy'ari: 1. Ibanah fi Usuluddiyanah, 3 jilid besar. 2. MaqalaatuI Islamiyiin. 3. AI-Mujaz, 3 jilid besar. 4. Dan lain-lain. Keistimewaan Imam Abu Hasan AI-Asy'ari dalam menegakkan fahamnya ialah dengan mengutamakan dalil-dalil dari Quran dan Hadis dan juga dengan pertimbangan akal dan fikiran, tidak seperti kaum Muktazilah yang mendasarkan fikirannya kepada akal dan falsafah yang berasal dari Yunani dalam membicarakan Usuluddin dan pula tidak seperti kaum Mujassimah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk) yang memegang erti lahir dari Quran dan Hadis, sehingga samp'ai mengatakan bahawa Tuhan bertangan, Tuhan bermuka, Tuhan duduk di atas 'Arsy, dan lain-lain sebagainya. Alhamdulillah, Imam Abu Hasan AI-Asy'ari dapat menegakkan faham yang kemudian dinamai "Faham Ahlussunnah wal Jama'ah", iaitu faham sebagaimana diyakini dan di I'itiqadkan oleh Nabi Besar Muhammad s.a.w. dan para Sahabat-sahabat beliau. Pada abad-abad berikutnya muncullah ulama-ulama besar kaum Ahlussunnah wal Jama'ah yang menyebar-luaskan pengajian-pengajian Imam Abu Hasan AI-Asy'ari, di antaranya:1. Imam Abu Bakar AI-Qaffal (wafat 365H)2. Imam Abu Ishaq AI-Asfaraini (wafat 411 H)3. Imam Al -Hafizh AI-Baihaqi (wafat 458H)4. Imam Haramain AI-Juwaini (wafat 460 H)5. Imam AI-Qasim AI-Qusyairi (wafat 465H)6. Imam AI-Baqilani (wafat 403H)7. Imam AI-Ghazali (wafat 505H)8. Imam Fakhruddin Ar-Razi (wafat 606H)9. Imam Izzuddin bin Abdussalam (wafat 660H)Ulama-ulama yang tersebut adalah Ulama-ulama penganut dan pendukung yang kuat dari faham Ahlussunnah wal Jama'ah yang dibentuk oleh Imam Abu Hasan Ali AI-Asy'ari.Kemudian dalam abad-abad seterusnya banyak muncul Ulama-ulama Usuluddin di seluruh dunia Islam yang menganut, mempertahankan dan menyiarkan faham Ahlussunnah wal Jama'ah yang dibentuk oleh Imam Abu Hasan AI-Asy'ari ini, di antaranya:10. Syeikhul Islam Syeikh Abdullah As Syarqawi (wafat 1227H) pengarang kitab Tauhid yang dimasyhurkan dengan nama Kitab Syarqawi.11. Syeikh Ibrahim AI-Bajuri (wafat: 1272H) pengarang kitab tauhid "Tahqiqul Maqam fi Kifayatil Awam", dan kitab "TuhfatuI Murid ala Jauharatut Tauhid".12. AI-Allamah Syeikh Muhammad Nawawi Bantan, seorang Ulama Indonesia yang mengarang kitab Tauhid "Tijanud Darari". (wafat:1315H).13. Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad AI-Fatani yang mengarang kitab Tauhid bernama "Aqidatun Najiin fi usuluddin".14. Syeikh Hussein bin Muhammad AI-Jasar At Thalabilisi, pengarang kitab Tauhid yang terkenal "Hushunul Hamidiyah"15. Dan lain-lain banyak lagi.Adapun Imam Abu Mansur AI-Maturidi, yang dianggap juga sebagai pembangun Mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah dalam usuluddin nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. Beliau lahir di suatu desa di Samarqand yang bernama "Maturid". Beliau meninggal di situ juga pada tahun 333 Hijriah, iaitu 10 tahun sesudah wafatnya Imam Abu Hassan AI-Asy'ari. Beliau berjasa besar dalam mengumpulkan, memperinci dan mempertahankan I'itiqad Ahlussunnah wal Jama'ah itu, sama keadaannya dengan Imam Abu Hasan AI-Asy'ari. Makam beliau sampai sekarang diziarahi di Samarqand. Dunia Islam sejak dulu sampai sekarang menganggap bahawa kedua Imam ini adalah pembangun Mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah.Berkata Sayid Murtadha az Zabidi, pengarang kitab "Ittihaf Sadatil Muttaqin", iaitu kitab yang mensyarah kitab "Ihya Ulumuddin", karangan Imam Ghazali:"إذا أطلق أهل السنة فالمرادبه الأشاعرة والماتريدية" Ertinya:Apabila disebut "Ahlussunnah wal Jama'ah maka yang dimaksudkan dengan ucapan itu ialah faham atau fatwa-fatwa yang diajarkan oleh Imam Asy'ari dan Abu Mansur AI-Maturidi (Ittihaf jilid II, halaman 6)Suatu hal lagi baik juga diketahui bahawa pada umumnya dunia Islam menganggap dalam furuk syari'at (fikah), yang benar adalah fatwanya Imam-imam Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali, dan dalam Usuluddin, yang benar dan yang sesuai dengan Quran dan Hadis, adalah fatwa kaum Ahlussunnah wal Jama'ah.
<img class='absimg' src='http://html.scribd.com/5uzuy69jmkz87ls/images/1-6cabf48074/000.png' onMouseDown='return false' style='left: 8.19em; clip: rect(0.07em 28.50em 0.19em 0.07em); height: 0.25em; top: 60.69em; width: 28.57em;'/>
Kesesatan aqidah Ruububiyah– uluhiyah–
asma’ washifat wahaby
Salafushalih telah menyusun kaidah-kaidah aqidah yang menerangkan aqidah islam, untuk menjaga pemahaman aqidah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yang difahami oleh sahabat, tabi’in dan tabiuttabi’in. Sehingga kita, umat yang ahir dari umat Nabi Muhammad SAW yang lemah iman, yaqin ,ilmu dan amal ini , tetap berada dalam aqidah islam yang shahih. Aqidah tersebut dikenal dengan aqidah sifat 50 yang menjelaskan makna kalimat Tauhid“Laa ilaha illallah - Muhammadarrasulullah”. “Laa ilaha illallah “ mengandungi 41 sifat yaitu 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah dan 1 sifat yang jaiz (boleh ) bagi Allah. Kalimat“Muhammadarrasulullah”mengandungi 4 sifat yang wajib bagi nabi Muhammad SAW(sidiq, amanah, fathonah, tabligh), 4 sifat yang mustahil, dan 1 sifat yang jaiz (boleh) bagi Muhammad SAW. Baca”Risalah kitab aqidah sifat 20 Syaikh abdul Ghani”
Tidak ada satupun salafushalih yang membagi-bagi iman/aqidah dalam tiga pembagian ini. Hanya syaikh abdul wahab dan anak muridnya (sekte sesat wahabi) yang membagi aqidah menjadi 3 yaitu rububiyah, uluhiyah dan asma washifat.
Pembagian aqidah secara serampangan ini memang sengaja dibuat oleh menyesatkan
umat. Mari kita lihat hujjah ahlusunnah atas kesesatan aqidah wahabi ini.
ULUHIYYAH DAN RUBUBIYYAH Suatu Kerapuhan Aqidah Uluhiyyah dan Rububiyyah Ciptaan Ibnu Taimiyah Pembahagian tauhid kepada dua iaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah telah dicipta dan dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah Al Harrani (wafat 728H). Pembahagian seperti ini boleh mengelirukan terutamanya orang awam yang kurang mendalami ilmu. Kegelincirin Dari Landasan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tidak pernah disebut di dalam sunnah nabawiyah bahawa tauhid itu terbahagi kepada uluhiyyah dan rububiyyah. Dan bahawa mereka yang tidak mengerti tauhid uluhiyyah adalah yang mengetahui tauhid rububiyyah sebagaimana yang diketahui oleh golongan musyrikin. Perkara ini tidak pernah disebut langsung oleh mana-mana sahabat, tabi`in mahupun atba` tabi`in termasuklah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai mana yang didakwa oleh Ibnu Taimiyah. Malah tidak terdapat juga di dalam karya-karya murid-muridnya yang terkenal, Ibnu Al Jauzi dan Al Hafiz Ibnu Kathir.
Mari kita lihat kesesatan faham rububiyah-uluhiyah wahabi :
1. Orang kafir dianggap beriman dengan tauhid rububiyah
Hujjah Ahlusunnah atas kesesatan tersebut diatas :
AJARAN SESAT WAHABI PERTAMA. Puak Wahabi melarang orang belajar tentang sifat 20 pada hal ini dianjurkakn oleh Ahlussunnah wal Jamaah. Ini jelas dapat dilihat di negara Arab Saudi. Mereka menciptakan suatu pengajian tauhid secara baru yang tidak ada sejak dahulu, baik pada zaman nabi SAW atau pada zaman Sahabat baginda.Pengajian baru itu mereka namakan dengan“Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah”. Tauhid ini ada 2 jenis, kata mereka iaitu: 1. Tauhid Rububiyah iaitu tauhidnya orang kafir dan tauhidnya orang musyrik yang menyembah berhala, atau dengan kata lainnya“Tauhid”orang yang syirik.2. Tauhid Uluhiyah iaitu tauhidnya orang Mukmin, tauhidnya orang Islam serupa iman dan Islamnya puak Wahabi. Mereka mengatakan bahawa dalam Al Quran disebut begini:” Katakanlah (Wahai Muhammad): Kepunyaan siapakan langit dan bumi dan semua isinya kalau kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah kepada mereka: Mengapa kamu tidak mengambil perhatian?”( Al Mukminun:84-85)
Dengan ayat ini kaum Wahabi mengatakan bahawa orang kafir pun percaya kepada
adanya Tuhan tetapi imannya tidak sah kerana menyembah berhala disamping
pengakuannya kepada adanya Tuhan iaitu Allah. Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
adanya Tuhan tetapi imannya tidak sah kerana menyembah berhala disamping
pengakuannya kepada adanya Tuhan iaitu Allah. Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
“Dan kalau engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi
dan menjadikan matahari dan bulan, mereka akan menjawab: Allah. Maka: Bagaimana
kamu berpaling daripada kebenaran?”(Al Ankabut:61)
Jadi kesimpulannya, orang Wahabi, orang kafir mengakui adanya Allah tetapi mereka menyembah selain Allah. Jadi, kata mereka, ada orang yang mengakui adanya Tuhan tetapi menyembah selain Tuhan adalah bertauhid Rububiyah iaitu Tauhidnya orang yang mempersekutukan Allah. Adapun Tauhid Uluhiyah ialah tauhid yang sebenar-benarnya iaitu mengesakan Tuhan sehingga tidak ada yang disembah selain Allah. Demikian pengajian Wahabi.Pengajian seperti ini tidak pernah ada sejak dahulu. hairan kita melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan digelar kaum Tauhid.Adakah
Sahabat-sahabat Nabi menamakan orang musyrik sebagai ummat Tauhid? Tidak! Syirik dan Tauhid tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan bagai siang dengan malam. Mungkinkah bersatu siang dengan malam serentak?Begitulah juga tidak adanya syirik dan tauhid bersatu dalam diri seseorang. Sama ada dia Tauhid atau Musyrik. Tidak ada kedua-duanya sekali. Jelas ini adalah ajaran sesat dan bidaah yang dipelopori oleh puak Wahabi & kini telah merebak ke dalam pengajian Islam teruatamnya di Timur Tengah. Kaum Wahabi yang sesat ini menciptakan pengajian baru dengan maksud untuk menggolongkan manusia yang datang menziarahi makam Nabi di Madinah, bertawasul dan amalan Ahlussunnah wal Jamaah yang lain sebagai orang“kafir” yang bertauhid Rububiyah dan yang mengikuti mereka sahaja adalah tergolong dalam Tauhid Uluhiyah. (email dari Sayyid Imran Assegraaf).
************************************************************************
**************************************
wahai wahabi itu adalah“perkataan orang-orang kafir”yang mana perkataan mereka tidak sama seperti keyakinan didalam hati mereka dan perbuatan mereka.Dan mereka sama sekali tidak termasuk kategori“iman“dari segi manapun.Lihat definisi iman menurut ahlusunnah :
c592afff-302e-42cf-8c14-59efa5d2030a
1.03.01
<img class='absimg' src='http://html.scribd.com/5uzuy69jmkz87ls/images/1-6cabf48074/000.png' onMouseDown='return false' style='left: 8.19em; clip: rect(0.07em 28.50em 0.19em 0.07em); height: 0.25em; top: 60.69em; width: 28.57em;'/>
Kesesatan aqidah Ruububiyah– uluhiyah–
asma’ washifat wahaby
Salafushalih telah menyusun kaidah-kaidah aqidah yang menerangkan aqidah islam, untuk menjaga pemahaman aqidah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yang difahami oleh sahabat, tabi’in dan tabiuttabi’in. Sehingga kita, umat yang ahir dari umat Nabi Muhammad SAW yang lemah iman, yaqin ,ilmu dan amal ini , tetap berada dalam aqidah islam yang shahih. Aqidah tersebut dikenal dengan aqidah sifat 50 yang menjelaskan makna kalimat Tauhid“Laa ilaha illallah - Muhammadarrasulullah”. “Laa ilaha illallah “ mengandungi 41 sifat yaitu 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah dan 1 sifat yang jaiz (boleh ) bagi Allah. Kalimat“Muhammadarrasulullah”mengandungi 4 sifat yang wajib bagi nabi Muhammad SAW(sidiq, amanah, fathonah, tabligh), 4 sifat yang mustahil, dan 1 sifat yang jaiz (boleh) bagi Muhammad SAW. Baca”Risalah kitab aqidah sifat 20 Syaikh abdul Ghani”
Tidak ada satupun salafushalih yang membagi-bagi iman/aqidah dalam tiga pembagian ini. Hanya syaikh abdul wahab dan anak muridnya (sekte sesat wahabi) yang membagi aqidah menjadi 3 yaitu rububiyah, uluhiyah dan asma washifat.
Pembagian aqidah secara serampangan ini memang sengaja dibuat oleh menyesatkan
umat. Mari kita lihat hujjah ahlusunnah atas kesesatan aqidah wahabi ini.
ULUHIYYAH DAN RUBUBIYYAH Suatu Kerapuhan Aqidah Uluhiyyah dan Rububiyyah Ciptaan Ibnu Taimiyah Pembahagian tauhid kepada dua iaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah telah dicipta dan dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah Al Harrani (wafat 728H). Pembahagian seperti ini boleh mengelirukan terutamanya orang awam yang kurang mendalami ilmu. Kegelincirin Dari Landasan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tidak pernah disebut di dalam sunnah nabawiyah bahawa tauhid itu terbahagi kepada uluhiyyah dan rububiyyah. Dan bahawa mereka yang tidak mengerti tauhid uluhiyyah adalah yang mengetahui tauhid rububiyyah sebagaimana yang diketahui oleh golongan musyrikin. Perkara ini tidak pernah disebut langsung oleh mana-mana sahabat, tabi`in mahupun atba` tabi`in termasuklah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai mana yang didakwa oleh Ibnu Taimiyah. Malah tidak terdapat juga di dalam karya-karya murid-muridnya yang terkenal, Ibnu Al Jauzi dan Al Hafiz Ibnu Kathir.
Mari kita lihat kesesatan faham rububiyah-uluhiyah wahabi :
1. Orang kafir dianggap beriman dengan tauhid rububiyah
Hujjah Ahlusunnah atas kesesatan tersebut diatas :
AJARAN SESAT WAHABI PERTAMA. Puak Wahabi melarang orang belajar tentang sifat 20 pada hal ini dianjurkakn oleh Ahlussunnah wal Jamaah. Ini jelas dapat dilihat di negara Arab Saudi. Mereka menciptakan suatu pengajian tauhid secara baru yang tidakc592afff-302e-42cf-8c14-59efa5d2030a
1.03.01
Langganan:
Postingan (Atom)